Infrastruktur Data Spasial
a). Pengertian
Infrastruktur Data Spasial (IDS)
Data spatial adalah data berbasis
ruang, menunjukkan lokasi object tertentu di atas permukaan bumi dalam konteks
ruang dan lokasi. Data Geospasial yang selanjutnya disingkat DG adalah data
tentang lokasi geografis, dimensi atau ukuran, dan/atau karakteristik objek
alam dan/atau buatan manusia yang berada di bawah, pada, atau di atas permukaan
bumi (UU 41 tahun 2011).
Infrasturktur Data Spatial atau
spatial data infrastructure (SDI) adalah pelaksanaan indfasruktur data dalam
kerangka data geografis, metadata, pengguna dan tools yang secara interaktif
terkoneksi dalam rangka penggunaan data spatial yang efesien dan fleksibel.
Definisi yang lain adalah sebagai proses perpaduan teknologi, kebijakan,
standar, sumberdaya dan aktifitas yang diperlukan lainnya untuk mendapatkan,
mengolah, mendistribusi, menggunakan, mengelola serta menjaga data spatial.
b).
Landasan Hukum
1.
Terdapat beberapa Undang-undang
yang menyatakan bahwa data spasial sangatlah penting, yaitu:
Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2004 tentang Sistem
Perencanaan Pembangunan Nasional menyebutkan bahwa seluruh kegiatan pembangunan
haruslah direncanakan berdasarkan data (spasial dan non spasial) dan informasi
yang akurat serta dapat dipertanggungjawabkan.
UU Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah
mengamanatkan bahwa perencanaan pembangunan di daerah harus berdasarkan pada
data dan informasi, termasuk data dan informasi spasial, dan Pemerintah Daerah
harus membangun sistem informasi daerah yang terintegrasi secara nasional.
Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2007 tentang Rencana
Pembangunan Jangka Panjang Nasional 2005-2025 menegaskan bahwa aspek
wilayah/spasial haruslah diintegrasikan ke dalam dan menjadi bagiankerangka
perencanaan pembangunan di semua tingkatan pemerintahan. Dalam kaitan ini,
terdapat 33 provinsi dan lebih dari 500 kabupaten/kota yang harus
mengintegrasikan rencana tata ruangnya ke dalam perencanaan pembangunan
daerahnya masing-masing.
2.
Munculnya Peraturan
Perundang-Undangan yang mendasari IDSN Indonesia:
Peraturan Presiden Republik Indonesia Nomor 85
Tahun 2007 Tentang Jaringan Data Spasial Nasional (JDSN) Undang-Undang No. 04
Tahun 2011 Tentang Informasi Geospasial
Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 9
Tahun 2014 Tentang InPres Nr.6/2012 tentang Penyediaan, Penggunaan,
Pengendalian Kualitas, Pengolahan, dan Distribusi Data Satelit Penginderaan
Jauh Resolusi Tinggi.
Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 8
Tahun 2013 Tentang Ketelitian Peta Rencana Tata Ruang
Pelaksanaan Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2011
Tentang Informasi Geospasial.
Peraturan Presiden No. 27 Tahun 2014 tentang
Jaringan Informasi Geospasial Nasional (JIGN).
Keputusan Kepala Badan Informasi Geospasial Nomor
54 Tahun 2015 Tentang Wali Data Informasi Geospasial Tematik
Peraturan Presiden Republik Indonesia Nomor 9 Tahun
2016 tentang Percepatan Pelaksanaan Kebijakan Satu Peta Pada Tingkat Ketelitian
Peta Skala 1:50.000.
c).
Perkembangan Infrastruktur Data
Spasial
Istilah IDS pertama kali diperkenalkan tahun 1993 oleh U.S. National
Research Council untuk menjelaskan dari teknologi, kebijakan dan pengaturan
kelembagaan yang bersama-sama memfasilitasi pembuatan, pertukaran
dan penggunaan geospatial data. Di Indonesia dimulai dari tahun 1993 oleh
melibatkan 7 instansi pemerintah yang terkait dengan penggunaan data spatial.
Kegiatan ini difasilitasi oleh BIG atau dulunya Bakosurtanal. Pertemuan
lanjutan pembentukan dilakukan beberapa kali sesudah itu yaitu tahun 1997,
2000, 2003 sampai kemudian keluar konsep NSDI (National Spatial Data
Infrastruktur). Melalui proses yang panjang tahun 2011 pengelolaan data spatial
akhirnya memiliki payung hukum berupa UU.
d).
Mengapa Infrastruktur Data
Spasial diperlukan ?
1.
Needs: Kebutuhan data spatial
sangat penting dalam perencanaan pembangunan pada hampir semua sektor. Tidak
hanya lembaga seperti Bappeda, PU atau BPN, tetapi sektor-sektor lainpun sudah
mulai menggunakan data spatial.
2.
Efficiency: Ada banyak pihak baik
lembaga pemerintah maupun non pemerintah yang melakukan kegiatan pengadaan data
spatial, penggunaan dan distribusi data spatial secara terpisah.
3.
Transparency: Data spatial
kebanyakan merupakan data-data yang wajib di shared ke publik sebagai bagian
dari transparansi. Diperlukan mekanisme, protokol dan aturan untuk mengatur
proses ini agar data tersebut bisa diakses secara baik dan benar.
e).
Permasalahan Umum Pengembangan
Infrastruktur Data Spasial
1.
Tidak adanya koordinasi antara
berbagai pihak yang baik tingkat kementrian/nasional, dinas/provinsi dan
kabupaten, organisasi non pemerintah, dll. Banyak dari lembaga tersebut
melakukan kegiatan pembangunan, pengolahan data secara sendiri-sendiri dan
tidak melakukanproses sharing.
2.
Tidak adanya akuntabilitas dan
transparansi dalam kegiatan terkait pengadaan dan pengolahan data spatial.
3.
Tidak adanya mekanisme dalam
pengolahan data didalam lembaga/institusi, sehingga kadangkala data staff yang
dikumpulkan menjadi milik pribadi dan ketika terjadi perpindahan/mutasi data
tersebut terbawa oleh pribadi.
f).
Infrastruktur Data Spasial
Tingkat Nasional
1.
Badan Informasi Geospatial (BIG)
mengumumkan project Geo Portal yang merupakan inisiatif dalam rangka koordinasi
infrastruktur data spatial di Indonesia. Inisiatif Geospasial untuk negeri
adalah portal geospasial Indonesia dibangun dengan partisipasi berbagai
kementrian dan lembaga serta pemerintah daerah di Indonesia dapat dilihat
dalam: http://maps.ina- sdi.or.id/home/index.html.
2.
Aceh membentuk unit AGDC Aceh Geo
Data Center tahun 2008. Kegiatan ini dikoordinasikan oleh Bappeda Provinsi Aceh
dalam rangka meningkatkan efektifitas penggunaan data spatial dalam
rehabilitasi pasca bencana tsunami dan gempa bumi.
3. One Map
Policy
Kebijakan Satu Peta (One Map
Policy) Indonesia, muncul pertama kali sejak Presiden RI Susilo Bambang
Yudhoyono, pada Rapat Kabinet 23 Desember 2010, yaitu: "Saya ingin hanya
satu peta saja sebagai satu-satunya referensi nasional!“, berawal ketika UKP4
menunjukkan kepada Presiden SBY peta tutupan hutan dari Kementerian Kehutanan
dan Kementerian Lingkungan Hidup yang berbeda (Kementerian Lingkungan Hidup=
59,8 juta Ha sedangkan data Kementrian Kehutanan = 44,2 juta Ha). Kebijakan
Satu Peta pertama kali dilaksanakan dengan dihasilkannya Peta Indikatif
Moratorium/ Penundaan Izin Baru di Hutan Alam Primer dan Lahan Gambut yang
menjadi lampiran pada Instruksi Presiden Republik Indonesia Nomor 10 Tahun 2011
Tentang Penundaan Pemberian Izin Baru dan Penyempurnaan Tata Kelola Hutan Alam
Primer dan Lahan Gambut.
Kebijakan di atas dibuat untuk mendukung kebijakan
nasional menyeimbangkan dan menselaraskan pembangunan ekonomi, sosial, budaya
dan lingkungan serta upaya penurunan emisi gas rumah kaca yang dilakukan
melalui penurunan emisi dari deforestasi dan degradasi hutan. Paket Kebijakan
Ekonomi VIII Presiden Jokowi, Senin (21-12-2015) salah satunya adalah tentang
Kebijakan satu Peta
Nasional (One Map Policy) dengan skala 1:50.000, Perpres No 9 Tahun 2016
tentang Percepatan Kebijakan 1 Peta pada tingkat ketelitian peta skala
1:50.000.
g).
Infrastruktur Data Spasial dan
Penataan Ruang
Pada dasarnya, dalam tatanan
IDSN, proses perencanaan tata ruang lebih bersifat sebagai pengguna (user) data
spasial dimana data spatial diperlukan dalam proses penataan ruang. Selain peta
dasar, dalam perencanaan tata ruang juga memerlukan data spasial yang terkait
dengan kondisi fisik wilayah, seperti kerentanan terhadap bencana,
keanekaragaman hayati, oseanografi, iklim dan geofisika, serta data fisik
wilayah lainnya.
Pembangunan data spasial pada
umumnya memerlukan pembiayaan yang relatif besar, baik dalam proses pengadaan
data dasar (mentah), pengolahan dan analisa data, maupun penyajian dalam wujud
peta. Akses terhadap data spasial (seperti peta dasar atau citra satelit),
umumnya diperlukan oleh lebih dari satu instansi. Oleh karena itu, berbagai
data spasial yang telah dikembangkan oleh masing-masing instansi, akan lebih
bermakna bila dapat saling dipertukarkan (dapat saling diakses oleh instansi
terkait). Pertukaran data (data sharing) antar instansi terkait, bila dapat
terwujud, akan memberikan efisiensi pemanfaatan dana yang sangat signifikan,
sekurangnya biaya proses pengolahan/analisa data dapat dihemat.
Komentar
Posting Komentar