SEJARAH KONVERSI TANAH DI INDONESIA


Sejarah konservasi tanah di Indonesia terbagi menjadi 2 tahap, yaitu berlakunya hukum agraria barat dan hukum agraria nasional.

  Berlakunya hukum agraria barat pada saat itu membawa banyak perubahan dalam sejarah pertanahan di Indonesia, di mana hukum,hak-hak atas tanah, pendaftararan tanah mulai diberlakukan demi kepentingan administratif.  Hukum agraria nasional diberlakukan setelah Indonesia mengalami kemerdekaan, tepatnya dengan diberlakukannya Undang-Undang No.5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-pokok Agraria (UUPA). Tujuan dilaksanakannya ini menyederhanakan dan menyatukan hukum agraria nasional. Dalam rangka mewujudkan tujuan tersebut maka dillaksanakan kegiatan konservasi tanah yang meliputi:
1)    Konversi hak atas tanah yang berasal dari tanah hak barat
2)    Konversi hak atas tanah yang berasal dari tanah bekas hak Indonesia
3)    Konversi hak atas tanah yang berasal dari tanah bekas hak swparaja.


1.    Hukum Agraria Barat.
Hukum Agraria barat memiliki sifat dualisme hukum, yang berarti pertanahan di Indonesia terikat dengan Hukum Adat, dan juga terikat Hukum Agraria Barat yang dijalankan oleh pemerintah kolonial Belanda. Pada masa pemerintah kolonial belanda, pemerintah belanda memiliki peraturan pertanahannya sendiri, atau yang lebih kita kenal dengan Hukum Agraria Barat yang meliputi:
1)    Hukum Agraria
Hukum Agraria yanag ditetapkan oleh pemrintah Belanda sangat merugikan masyarakat Indonesia pada masa itu, karena setiap aturan yang dibuat condong menguntungkan pemerintah kolonial Belanda.
2)    Hak Atas Tanah
Hak atas tanah yang tunduk kepada hukum agraria barat yang telah diatur KUH perdata
3)    Hak Jaminan Atas Tanah
Pemerintah belanda mulai menciptakan hak-hak atas berdasarkan kegiatan yang dilaksanakan di atas tanah tersebut, yang meliputi hak eigendom, hak opstal, hak erfphact dan hak gebruik
4)    Pendaftaran Tanah
Kegiatan ini dilaksanakan untuk menentukan besar kecilnya biaya pajak berdasarkan luas kecilnya bidang tanah   
Dalam perjalanannya ada beberapa kebijakan-kebijakan agraris yang dibuat oleh pemerintah kolonial belanda yang dibuat untuk kepentingan mereka sendiri, antara lain :
•    Masa Pemerintahan VOC (1602-1799)
Pada awalnaya VOC dibentuk untuk dijadikan sebagai pusat perdagangan untuk para peedagang belanda sehingga tidak terjadi persaingan di antara mereka, dan menciptakan monopoli di asia selatan.
Adapun kebijakan-kebijakan yang dibuat oleh VOC, antara lain:
a)    Contingenten
Pajak atas hasil pertanian harus diserahkan kepada kolonial. Kebijakan ini membuat masyarakat Indonesia pada masa itu harus menyerahkan sebagian hasil pertaniannya kepada pemerintah Belanda tanpa dibayar sepeserpun.
b)    Verplichte leveranten
Suatu kebijakan yang dibuat oleh pemerintah Belanda dengan para raja pada zaman itu, bahwa masyarakat Indonesia harus memberikan seluruh hasil pertaniannya kepada pemerintah Belanda dengan biaya yang telah ditentukan sepihak. Kebijakan ini semakin membuat masyarakat kala itu sama sekali tidak bisa berbuat apa-apa atas hasil pertaniannya.
c)    Roerendiensten
Suatu kebijakan yang dibuat untuk kerja paksa (rodi) bagi masyarakat yang tidak memiliki lahan pertanian. sehingga, masyarakat Indonesia yang tidak memiliki lahan pertanian harus dan wajib mengikuti sistem kerja paksa yang  dilaksanakan pemerintah belanda, seperti membangun jalan, rel kerete api dan lain-lain.
•    Masa Pemerintahan Gubernur Herman Willem Daendles (1800-1811)
Pada masa pemerintahan itu, gubernur ini menetapkan suatu kebijakan di mana masyarakat Indonesia harus menjual tanahnya kepada warga China, Arab, dan bangsa Belanda sendiri, dan tanah-tanah yang dijual itu dikenal dengan istilah tanah partikelir. Jadi, seseorang yang menjadi pemilik dari tanah patrikelir memiliki hak-hak yang istimewa dan bersifat kenegaraan. Adapun hak-hak tersebut meliputi:
a)    Hak untuk mengangkat dan mengesahkan kepemilikan, serta memberhentikan kepala desa. Jadi, seseorang yang menjadi pemilik dari tanah patrikelir mempunyai kekuasaan untuk mengklaim kepemilikkan baik untuk dirinya sendiri dan juga orang lain, serta mempunyai hak untuk memberhentikan kepala desa jika ia mau, tanpa bisa dibantah.
b)    Hak untuk menuntut kerja paksa, atau memungut uang pengganti kerja paksa dari penduduk. Nah selain hak di atas, tuan tanah patrikelir juga mempunyai wewenang untuk menuntut seseorang melakukan kerja paksa, atau meminta sejumlah uang sebagai pengganti seseorang menolak untuk melakukan kerja paksa, jika seseorang menolak untuk melakukan kerja paksa.
c)    Hak untuk mengadakan pungutan-pungut an, baik itu berupa uang maupun hasil pertanian dari penduduk. Karena tanah patrikelir memiliki sifat kenegaraan, maka pemiliknya berhak mengadakan pungutan dari penduduk. Dan juga karena tuan tanah patrikelir merupakan perpanjangan tangan dari pemerintah koloni belanda.
d)    Hak untuk mendirikan pasar-pasar. Pemilik dari tanah patrikelir memiliki kewenangan untuk mendirikan pasar-pasar sebagai pusat perdagangan di suatu lahan warga.
e)    Hak untuk memungut biaya penggunaan jalan dan penyeberangan. Karena besarnya kekuasaan tuan tanah patrikelir pada zaman itu, dia sampai mempunyai kewenangan untuk menuntut biaya pajak penggunaan jalan dan penyerberangan (pemilik rakit atau kapal penyeberangan) pada saat itu.
f)    Hak untuk mengharuskan penduduk tiga hari sekali memotong rumput bagi keperluan tuan tanah, sehari dalam seminggu untuk menjaga rumah atau gudang-gudang. Sama seperti hak-hak di atas yang sangat membebani warga pada saat itu, karena kekuasaannya pada saat itu, semua warga diwajibkan untuk memotong rumput, menjaga rumah, gudang, dan lain sebagainya secara bergantian dalam jangka waktu yang telah ditentukan tuan tanah.
•    Masa Pemerintahan Gubernur Thomas Stamford Raffles (1811-1816)
Tidak seperti pada pemerintahan gubernur sebelumnya di mana kekuasaan dan kewenangan atas tanah berada di tuan tanah patrikelir, pada masa pemerintahan gubernur ini, kekuaasaan penuh berada di tangan kepala desa. Pada masa pemerintahan ini, gubernur Thomas Stamford Raffles memberikan kewenangan kepada kepala desa untuk menentukan segala sesuatu. Adapun kewenangan yang diberikan adalah sebagai berikut:
a)    Kepala desa memiliki kekuasaan untuk menentukan biaya pajak yang harus dibayarkan oleh setiap petani. Jadi, kepala desa ditugaskan untuk menentukan dan mengumpulkan biaya pajak, sebelum nantinya diberikan kepada pemerintah kolonial Belanda.
b)    Kepala desa memiliki kekuasaan untuk menentukan perubahan kepemilikan tanah para petani. Jadi, setiap petani yang tidak mampu membayar biaya pajak tanah pertaniannya, maka kepemilikkannya akan beralih kepada orang lain, dengan syarat orang tersebut mampu membayar pajak atas tanah pertanian tersebut.
c)    Karena besarnya kekuasaan yang dimiliki kepala desa praktik pajak tanah menjungkirbalikkan hukum yang mengatur kepemilikkan tanah rakyat pada saat itu. Di mana seharusnya luas lahan yang menentukan besar kecilnya pajak yang harus dibayar oleh rakyat, tetapi semua itu bertolak belakang dengan peristiwa saat itu. Di mana besar kecilnya pajak yang dibayarlah, yang menentukan luas tanah yang dikuasai. Jadi, kalo biaya pajak yang dibayar seseorang besar, maka dia akan memiliki lahan pertanian yang besar, begitu juga dengan sebaliknya. Karena monopoli yang dilakukan kepala desa pada saat itu.
•    Masa Pemerintahan Gubernur Johanes Van Den Bosch
Pada masa pemerintahan Gubernur Johanes Van Den Bosch tepat pada tahun 1830, ia menemukakan suatu kebijakan yaitu tanam paksa. Di mana setiap warga diharuskan menanam suatu jenis tanaman tertentu yang dibutuhkan oleh pasar internasional pada saat itu. Dan hasil pertanian tersebut harus diserahkan kepada pemerintah kolonial, dan harus rela tidak dibayar sepeserpun.
•    Berlakunya Kebijakan Agrarische Wet
Dengan berlakunya Agrarische Wet maka politik mopoli yang dilaksanakan oleh pemerintah kolonial resmi berakhir, dan digantikan dengan politik liberal. Di mana pemerintah kolonial tidak lagi dilibatkan dalam kegiatan usaha. Sehingga para pengusaha pada saat itu resmi lepas dari belenggu kekuasaan kolonial, karena mereka diberikan kesempatan untuk mengembangkan kegiatan usaha dibidang pertanian. Agrarische Wet diusulkan oleh Menteri Jajahan De Waal yang merupakan orang Belanda.
Adapun isi dari Agrarisch Wet adalah sebagai berikut:
a)    Gubernur Jenderal tidak boleh menjual tanah.
b)    Gubernur Jenderal dapat menyewakan tanah menurut ketentuan-ketentua yang sesuai dengan ordonansi (Undang-Undang pada masa pemerintahan Hindia Belanda).
c)    Dengan peraturan undang-undang, maka akan diberikan tanah-tanah dengan hak erfpacht yaitu hak pengusaha untuk dapat menyewa tanah dari pemerintah Belanda paling lama 75 tahun.
Tujuan dilaksanakannya kebijakan ini untuk untuk membuka kemungkinan dan memberikan jaminan hukum kepada para pengusaha, agar mereka dapat berkembang di pemerintahan kolonial Belanda
•    Berlakunya Kebijakan Agrarisch Belsuit.
Ketentuan Agrarisch Wet pelaksanaannya diatur dalam peraturan dan keputusan. Salah satu keputusan yang diambil adalah Koninklijk Belsuit, yang kemudian dikenal dengan istilah Agrarisch Belsuit.
Pada Pasal 1 Agrarische Besluit memuat pernyataan yang dikenal dengan “Domein Verklaring” (pernyataan kepemilikan), yaitu “dengan tidak mengurangi berlakunya ketentuan Pasal 2 dan 3 Agrarische Wet, tetap dipertahankan bahwa semua tanah yang pihak lain tidak dapat mebuktikan hak eigendomnya, adalah domein (milik) negara”. Pasal ini dianggap memberatkan dan menghina pihak pribumi yang masih tunduk kepada hukum tanah adat. Awalnya Agrarisch Belsuit hanya diterapkan di pulau Jawa dan Madura, namun akhirnya diberlakukan juga di luar pulau Jawa dan Madura.
Akibat dari adanya pernyataan domain (kepemilikkan) tersebut akhirnya tanah di pada saat itu terbagi menjadi dua jenis, yaitu:
a)    Vrijlands Domein atau tanah negara bebas, yaitu tanah yang di atasnya tidak ada hak penduduk bumi putera. tanah tersebut meliputi tanah dibawah kepemilikkan pemerintah kolonial.
b)     Onvrijlands Domein atau tanah negara tidak bebas, yaitu tanah yang di atasnya ada hak penduduk maupun desa. Tanah tersebut meliputi tanah dibawah hukum adat, dan tanah yang bisa dibuktikkan kepemilikkannya.

2.    Hukum Agraria Nasional

Setelah Indonesia merdeka, pemerintah saat itu mulai mengatur dan merancang peraturan perundang-undangan yang baru, salah satunya dibidang keagrarian, agar segala kebijakan yang di ambil lebih mendahulukan kepentingan rakyat. Akhirnya pada tahun 1960 pemerintah mengesahkan sebuah Undang-Undang yang mengatur tentang Peraturan dasar Pokok-Pokok Agraria atau yang kita kenal saat ini dengan UUPA. Salah satu tujuan diberlakukannya UUPA adalah untuk melakukan penyatuan dan penyederhanaan Hukum Agraria Nasional. Untuk mewujudkan penyatuan dan penyederhanaan, maka dilaksanakan konversi hak atas tanah hukum agraria barat menjadi hak atas tanah hukum nasional yang sesuai dengan UUPA. Adapun konversi atas tanah terbagi atas 3 jenis, yaitu:
1)    Konversi hak atas tanah yang berasal dari tanah hak barat
2)    Konversi hak atas tanah yang berasal dari tanah bekas hak Indonesia
3)    Konversi hak atas tanah yang berasal dari tanah bekas hak swparaja
Sejak saat itu UUPA menjadi lambang sekaligus titik awal diberlakukukannya hukum agraria nasional di IndonesiaH
1)    Konversi hak atas tanah yang berasal dari tanah hak barat
Adapuun konversi tanah yang berasal dari tanah hak barat ini meliputi:
a)    Hak Eigendom adalah untuk membuat suatu barang secara leluasa dan untuk berbuat terhadap barang itu sebebas-bebasnya, asalkan tidak bertentangan dengan undang-undang atau peraturan umum yang ditetapkan oleh kuasa yang berwewenang dan asal tidak mengganggu hak-hak orang lain. Hak eigendom kemudian dikonversi menjadi hak milik. Adapun Hak Milik berdasarkan UUPA No.5 Tahun 1960  adalah hak turun-temurun , terkuat dan terpenuh yang dapat dipunyai orang atas tanah.
b)    Hak Opstal adalah hak kebendaan untuk memiliki bangunan dan tanaman-tanaman di atas sebidang tanah orang lain. Hak ini kemudian dikonversi menjadi hak guna bangunan. Hak Guna Bangunan adalah hak untuk mendirikan dan mempunyai bangunan-bangunan atas tanah yang bukan miliknya sendiri, dengan jangka waktu paling lama 30 tahun.
c)    Hak Erfphact adalah hak untuk menikmati seluas-luasnya dari tanah milik orang lain dan mengusahakannya untuk waktu yang sangat lama. Hak erfphact terbagi menjadi 2 jenis, yaitu:
    Hak erfphact untuk perusahaan kebun besar, yang kemudian dikonversi menjadi hak guna usaha. Hak Guna Usaha merupakan hak khusus untuk mengusahakan tanah yang bukan miliknya sendiri guna perusahaan, pertanian, perikanan dan peternakan.
    Hak Erfphact untuk perumahan, yang kemudian dikonversi menjadi hak guna bangunan. Hak Guna Bangunan adalah hak untuk mendirikan dan mempunyai bangunan-bangunan atas tanah yang bukan miliknya sendiri, dengan jangka waktu paling lama 30 tahun.
d)    Hak Gebruik adalah hak kebendaan atas benda orang lain bagi seseorang tertentu untuk mengambil benda sendiri dan memakai apabila ada hasilnya, sekedar untuk keperluannya sendiri beserta keluarganya. Hak ini kemudian dikonversi menjadi hak pakai. Hak Pakai adalah hak untuk menggunakan dan/atau memungut hasil dari tanah yang dikuasai langsung oleh Negara atau tanah milik orang lain, yang memberi wewenang dan kewajiban yang ditentukan dalam keputusan pemberiannya oleh pejabat yang berwenang memberikannya atau dalam perjanjian dengan pemilik tanahnya, yang bukan perjanjian sewa-menyewa atau perjanjian pengolahan tanah, segala sesuatu asal tidak bertentangan dengan jiwa dan ketentuan-ketentuan No. 5 Tahun 1960.
e)    Bruikklen adalah suatu perjanjian di mana pihak yang satu menyerahkan benda dengan cuma-Cuma kepada pihak lain untuk dipakainya dengan disertai kewajiban untuk mengembalikkan benda tersebut pada waktu yang ditentukan. Bruikkelin dikonversi menjadi hak pakai.
Jadi semua hak-hak hukum barat diganti menjadi hak-hak yang sesuai dengan hukum agraria nasional., serta mewujudkan penyederhaan dan penyatuan hukum agraria nasional.
2)    Konversi hak atas tanah yang berasal dari tanah bekas hak Indonesia
Hak atas tanah yang berasal dari tanah bekas hak Indonesia adalah sebagai berikut:
a)    Hak Erfphact yang altijddurend adalah hak erfphact yang diberikan sebagai pengganti hak usaha  di atas bekas tanah patrikelir menurut S.1913-702 (hukum agraria barat). Hak ini dikonversi menjadi hak milik, hak guna usaha, hak guna bangunan, namun kembali lagi tergantung  subyek hak dan peruntukkannya.
b)    Hak Agrarische Eigendom adalah hak buatan semasa pemerintah kolonial Belanda yang memberikan kaum pribumi suatu hak baru yang kuat atas sebidang tanah. Sama seperti sebelumnya, hak ini dikonversi menjadi hak milik, hak guna usaha, atau hak guna bangunan, namun tergantung subyek hak dan peruntukkannya.
c)    Hak Gogolan adalah hak masyarakat jawa pada saat itu, dikonversi menja
3)    Konversi hak atas tanah yang berasal dari taanah bekas swaparaja
Konversi hak atas tanah  yang berasal dari tanah swaparaja adalah sebagai berikut:
a)    Hak Hanggaduh adalah hak untuk memakai tanah kepunyaan raja. Hak ini dikonversi menjadi hak pakai
b)    Hak grant adalah hak atas tanah pemberian hak raja kepada bangsa asing. Hak ini terdiri dari 2 macam, yaitu:
    Grant sultan, yaitu hak milik untuk mengusahakan tanah yang diberikan oleh sultan kepada para kaula swaparaja atau kaum bangsawan kerajaan. Hak ini kemudian dikonversi menjadi hak milik, hak guna usaha hak guna bangunan tergantung subyek hak dan peruntukkannya
    Grant controleur diberikan oleh sultan kepada bukan kaula swaparaja. Hak ini kemudian di konversi menjadi hak pakai.
Akhirnya, kebijakan-kebijakan tersebut harus dibuat demi menghilangkan pengaruh-pengaruh hukum agraris barat serta menciptakan suatu kebijakan administratif yang dapat membantu membangun bangsa menuju arah yang lebih baik.



Komentar

Postingan Populer