Sejarah Sistem Refrensi Geospasial

Sejarah Sistem Refrensi Geospasial 

Dahulu sebelum adanya perkembangannya teknologi penentuan posisi, setiap negara mempunyai sistem referensi yang berbeda-beda dalam penentuan posisi dan setiap negara tidak memiliki upaya untuk melakukan penyatuan, yang artinya ellipsoid yang digunakan negara satu dangan negara yang lain berbeda. Hal tersebut disebabkan karena  ellipsoid  ditentukan berdasarkan Best-fit masing-masing wilayah.

Gambar Best-fit ellipsoid

Posisi dari suatu titik biasanya dinyatakan dalam bentuk koordinat, baik koordinat dua dimensi maupun koordinat tiga dimensi, yang mengacu pada suatu sistem koordinat tertentu. Sistem koordinat itu sendiri didefinisikan dengan menspesifikasi dari tiga paramater, yaitu:
·         Lokasi titik nol dari sistem koordinat
·         Orientasi dari sumbu-sumbu koordinat
·         Besaran yang digunakan untuk mendefinisikan posisi suatu titik dalam sistem koordinat tersebut
Dalam penentuan posisi suatu titik di permukaan bumi, titik nol dari sistem koordinat yang digunakan dapat berlokasi di titik pusat massa bumi (sistem koordinat geosentrik) atau dapat berpusat di salah satu titik di permukaan bumi (sistem koordinat toposentrik). Sistem koordinat geosentrik banyak digunakan dalam metode metode penentuan posisi secara ekstra terestris, sedangkan sistem koordinat toposentrik banyak digunakan oleh metode penentuan secara terestris.


Masa Pendudukan Belanda (Jaring Triangulisasi)

Sejak jaman dahulu, bahkan sejak jaman pendudukan Belanda, sudah banyak dilakukan usaha untuk melakukan pendefinisian datum geodetic atau sistem referensi geospasial sebagai acuan dalam kegiatan survey dan pemetaan. Penentuan posisi dengan triangulasi dimulai pada tahun 1862 yaitu jaring utama triangulasi di P.Jawa, dan selesai pada tahun 1880 yang terdiri dari 114 titik, ditempatkan di puncak-puncak gunung, dengan tiga basis. Sistem koordinat triangulasi Jawa dihitung mengacu kepada elipsoid Bessel 1841, dengan lintang dan azimuth ditentukan titik triangulasi di Genoek, dan untuk hitungan bujur, Batavia (sekarang Jakarta) sebagai meridian nol. Selanjutnya pada tahun 1883 jaring utama triangulasi Jawa diperluas ke Sumatera, sedemikian rupa hingga triangulasi Sumatera membentuk satu sistem dengan triangulasi Jawa. Pada periode tahun 1912-1918 jaring utama triangulasi Jawa diperluas sampai ke Bali dan Lombok. kemudian pada tahun 1911 pengukuran jaring utama triangulasi di Celebes (sekarang Sulawesi) dimulai. Sistem koordinat yang digunakan adalah Bessel 1841 ellipsoid, dengan lintang dan azimuth ditentukan di titik triangulasi di Gunung Moncong Lowe, sedangkan dalam penentuan bujur, Makasar dijadikan sebagai meridian nol. Pada saat itu teknologi yang digunakan belumlah secanggih yang digunakan pada era modern seperti sekarang. Pengukuran pada masa itu masih menggunakan peralatan optis sehingga penyatuan sistem datum geodetic tidak memungkinkan. Alhasil, jaring utama triangulasi Jawa – Sumatera – Bali – Lombok tidak berada pada satu sistem dengan jaring utama Sulawesi dan masing masing jaring memiliki ketelitian yang berbeda-beda. Begitu juga dengan jaring utama triangulasi di Kalimantan yang pada waktu itu dilaksanakan oleh perusahaan eksplorasi minyak-bumi juga tidak berada dalam satu sistem yang sama.
Hal ini disebabkan karena pilar-pilar triangulasi tersebut dibangun dan pengukurannya dengan menggunakan alat ukur optis, seperti Theodolite dan pita ukur, maka diperoleh jaringan Triangulasi  masing-masing pulau memiliki Referensi sendiri, seperti Pulau jawa dan Pulau Sumatera Bagian Selatan mengacu pada Datum Genuk, Pulau Kalimantan mengacu pada Datum G. Sagara, Pulau Sulawesi mengacu pada G. Monconglowe, dll.
Ketelitian relatif yang dicapai dari jaring utama triangulasi tersebut sekitar 1 : 100.000.


Datum Indonesia 1974 (ID74)

Sampai pada tahun 1960-an, yaitu telah adanya satelit Doppler, usaha penyatuan referensi (datum) mulai dipelopori oleh BAKOSURTANAL (sebelum berubah menjadi Badan Informasi Geospasial), pilar pilar triangulasi tersebut diukur ulang dengan menggun akan satelit Doppler. Pada saat itu, Indonesia menggunakan Datum Padang sebagai referensi, namun datum yang dimiliki Indonesia belum menyatu dengan Negara lain. Dengan hasil pengukuran ini, Indonesia berhasil mendefinisikan referensi nasionalnya yaitu Indonesian Datum 1974 (ID74), dengan mengacu pada ellipsoid GRS-67 (Geodetic Reference System 1967). Untuk keperluan tersebut dibutuhkan kerangka acuan geodesi yang baru, maka Indonesia melalui Bakosurtanal, menetapkan suatu ellipsoid referensi yang mempunyai parameter sama dengan parameter elipsoid GRS-67 (Geodetic Reference System 1967), yang diberi nama SNI (Sferiod Nasional Indonesia). Untuk menentukan orientasi SNI dalam ruang, ditetapkan suatu datum relatif, yaitu dengan titik eksentris (stasiun Doppler) BP-A (1884) di Padang sebagai titik datum SNI. Dengan menetapkan SNI bersinggungan dengan sistem NWL9D (sumbu koordinat kedua elipsoid didefinisikan paralel) di titik datum, maka koordinat BP-A Ecc pada sistem SNI diatas dikonversi atau ditransformasikan ke koordinat kartesian (3 dimensi) dengan memakai parameter SNI, sehingga dapat ditentukan pula pergeseran pusat sistem SNI terhadap pusat sistem NWL9D dan pergeseran pusat sistem NWL9D terhadap pusat sistem SNI. Selanjutnya pergeseran pusat kedua sistem tersebut satu sama lain, perdefinisi, ditetapkan berlaku untuk seluruh wilayah Indonesia, bertujuan untuk penetapan datum tunggal geodesi di Indonesia, dan diberi nama Indonesian Datum 1974 atau Datum Indonesia 1974. Pada realisasinya jaring kontrol geodesi yang titik-titiknya ditentukan dengan memanfaatkan satelit doppler sudah berada dalam satu sistem, akan tetapi belum homogen dalam hal ketelitian, disebabkan metoda pengukuran (penentuan posisi absolut, translokasi) dan metoda hitungan (‘multistation mode, short arc mode’) yang dipakai berbeda. Walaupun demikian koordinat titik-titik pada jaring kontrol geodesi tersebut, namun secara teknis cukup memenuhi untuk keperluan pemetaan rupabumi pada skala  1 : 50.000.


Datum Geodesi Nasional 1995 (DGN 95)

Seiring dengan perkembangan teknologi GPS, maka pada tahun 1996 Bakosurtanal mendefinisikan datum baru untuk keperluan survei dan pemetaan menggantikan ID74, yang kemudiam dikenal dengan Datum Geodesi Nasional 1995 atau disingkat dengan DGN 95. DGN95 merupakan sistem referensi geospasial yang bersifat statis, dimana perubahan nilai koordinat terhadap waktu sebagai akibat dari pergerakan lempeng tektonik dan deformasi kerak bumi, tidak diperhitungkan. 

Gambar  Sebaran Jaring Kontrol Horizontal Untuk Mendefiniskan DGN 95


Nyatanya setiap perubahan nilai koordinat terhadap waktu perlu diperhitungkan dalam mendefinisikan suatu sistem referensi geospasial untuk wilayah Indonesia. Hal ini dikarenakan wilayah Indonesia terletak diantara pertemuan beberapa lempeng tektonik yang sangat dinamis dan aktif, diantaranya lempeng Euroasia, Australia, Pacific dan Philipine. Wilayah Indonesia yang terletak pada pertemuan beberapa lempeng inilah yang menyebabkan seluruh objek-objek geospasial yang ada diatasnya termasuk titik-titik kontrol geodesi yang membentuk Jaring Kontrol Geodesi Nasional, juga bergerak akibat pergerakan lempeng tektonik dan deformasi kerak bumi.


Sejarah Sistem Referensi Geospasial Indonesia 2013

Setelah teknologi penentuan posisi berbasis satelit seperti GNSS (Global Navigation Satelite System) telah mengalami peningkatan yang signifikan, memungkinkan untuk digunakan dalam penyelenggaraan kerangka referensi geodetik nasional yang terintegrasi dengan sistem referensi global, serta mampu memberikan ketelitian yang memadai untuk memantau pergerakan lempeng tektonik dan deformasi kerak bumi yang berpengaruh terhadap nilai-nilai koordinat. Pada 17 Oktober 2013, diluncurkannya Sistem Referensi Geospasial Indonesia 2013 (SRGI 2013). SRGI adalah suatu terminologi modern yang sama dengan terminologi Datum Geodesi Nasional (DGN) yang lebih dulu didefinisikan, yaitu suatu sistem koordinat nasional yang konsisten dan kompatibel dengan sistem koordinat global. Akan tetapi tidak seperti DGN, SRGI mempertimbangkan perubahan koordinat berdasarkan fungsi waktu, karena adanya dinamika bumi. 

Jaring Kontrol Geodesi (horizontal) yang dipakai pada SRGI 2013


Gambar  Sebaran Jaring Kontrol Geodesi (Vertikal) yang dipakai pada SRGI 2013

Secara spesifik, SRGI 2013 adalah sistem koordinat kartesian 3-dimensi (X, Y,Z) yang geosentrik. Implementasi praktis di permukaan bumi dinyatakan dalam koordinat Geodetik lintang, bujur, tinggi, skala, gayaberat, dan orientasinya beserta nilai laju kecepatan dalam koordinat planimetrik (toposentrik).

Komentar

Posting Komentar

Postingan Populer